Articles by "Islam Afrika"

Tampilkan postingan dengan label Islam Afrika. Tampilkan semua postingan

WASHINGTON  - Pemerintahan teroris Amerika Serikat (AS) sedang mencari dana tambahan sebesar USD 32 juta untuk melatih pasukan Afrika untuk memerangi Mujahidin Islam di Mali.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland mengatakan kepada para wartawan pada Jum'at (25/1/2013) bahwa permohonan dana itu telah diajukan ke Kongres, sebagaimana dilansir oleh Associated Press.
AS memang tidak memberikan bantuan secara langsung kepada rezim sekuler Mali, tetapi AS telah memberikan bantuan kepada pasukan pimpinan Perancis dalam hal pengangkutan tentara dan peralatan ke Mali.
Perancis memiliki sekitar 2.400 pasukan di negara Afrika Barat tersebut, tetapi Perancis tetap meminta bantuan pasukan Uni Afrika untuk memerangi Mujahidin yang menguasai Mali Utara, di mana Syariah Islam ditegakkan.
Perang pimpinan Perancis di Mali dimulai pada 11 Januari setelah Mujahidin bergerak maju dan menguasai kota Konna. (siraaj/arrahmah.com)

SEVARE  – Kebiadaban pasukan rezim sekuler Mali dukungan penjajah salibis Perancis akhirnya terkuak juga kepada dunia internasional. Setelah harian The Guardian, The Observer dan beberapa media lokal di Afrika Barat mengeksposnya, stasiun TV 2 Perancis akhirnya menayangkan laporan langsung dari lapangan.
Seperti dilaporkan oleh kantor berita Ash-Sharq, tentara rezim sekuler Mali melakukan serangan biadab pada Selasa (22/1/2013) terhadap sebuah masjid di ibukota Bamako. Pasukan Mali menangkap seorang imam masjid, sejumlah ulama juru dakwah dan para jama'ah masjid. Pasukan Mali membunuh sang imam masjid dan menyiksa para ulama juru dakwah dan jama'ah masjid. Tidak cukup sampai di situ, pasukan Mali mencukur habis jenggot para ulama dan jama'ah masjid. Jenggot adalah sunah fitrah yang merupakan ajaran para nabi dan simbol ketaatan seorang muslim kepada ajaran nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam.
Beberapa waktu sebelumnya pasukan rezim sekuler Mali juga melakukan pembantaian terhadap para ulama dan juru dakwah di kota Diyabali.
Pembantaian terhadap para ulama, juru dakwah dan warga sipil muslim yang "dicurigai" bergabung dengan mujahidin Anshar Ad-Din juga telah dilakukan oleh pasukan rezim di kota Sevare, Niono, Dunsa dan beberapa tempat terpisah di ibukota Bamako.
Koresponden Stasiun TV 2 Perancis, Dorothee Ollieric, melaporkan langsung dari kota Sevare bahwa pasukan rezim sekuler Mali melemparkan jasad para ulama, juru dakwah, warga sipil etnis Arab dan etnis Tuareq ke dalam sumur-sumur di kota Sevare. Dasar sumur tertutup oleh genangan warga merah darah. Darah nampak jelas menempel di bibir sumur. Anak-anak dan para pejalan kaki yang melewati bibir sumur itu harus menutup hidung mereka akibat bau busuk jenazah yang menyengat.

Harian The Observer telah bertanya kepada Menteri Keadilan Mali, Malick Coulibaly, apakah pemerintah yakin tentara Mali mungkin bersalah melakukan kejahatan perang. "Tidak ada tentara di dunia yang sempurna," kata Coulibaly, berbicara di kantornya di Bamako. "Tentara AS adalah salah satu yang paling profesional di dunia, namun mereka telah ditemukan melakukan tindakan-tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum. Itu ada pada seluruh tentara…"
Inilah kehebatan pasukan rezim sekuler Mali dukungan penjajah salibis Barat. Mereka sangat pemberani dan tak kenal takut dalam membantai rakyat sipil muslim yang tak berdosa. Namun mereka terbirit-birit ketakutan saat berhadapan dengan mujahidin Islam. Mereka hanya berani saat mendapat bantuan ribuan tentara penjajah salibis asing.


Sharif-uddin (atau Sharif-iddin) Khalifa, adalah Anak ajaib, lahir di Arusha, di bagian utara Tanzania (sebuah negara di Afrika Timur), pada bulan Desember 1993.
Muslim hanya sebagian kecil di Tanzania dan berbahasa Arab bukan asli di Tanzania. Orang tuanya adalah orang Kristen Katolik. 
Bahasa asli mereka adalah Swahili dan mereka tidak tahu bahasa Arab.
Ketika ia masih kecil, orang tuanya (yang Kristen) menyadari bahwa ia mampu membaca seluruh Quran dengan hati, meskipun tubuh tidak pernah mengajarinya untuk melakukannya.
Pada usia dua bulan, ia menolak untuk menyusu susu ibunya.

Pada usia empat bulan, ia mulai membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. 
Pada saat ia berusia satu tahun, ia mampu membaca seluruh Quran dan melanjutkan untuk dapat berkhotbah dalam bahasa Arab, Swahili dan Perancis tanpa pendidikan formal.

Hal ini melaporkan bahwa kata-kata pertamanya adalah: "Anda orang bertobat dan Anda akan diterima oleh Allah" dan ia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Arab. 
Orang tua yang bersangkutan awalnya mengira ia kerasukan setan dan disebut pendeta Kristen untuk berdoa bagi bayi.
Akhirnya, tetangga Muslim mampu menafsirkan pidato asing Sharif. 
Setelah orang tuanya diakui bahwa pentingnya apa yang anak mereka katakan dan bahwa ia adalah keajaiban dari Tuhan, orang tuanya masuk Islam.
Selanjutnya, meskipun fakta bahwa ia adalah dari Tanzania, ia berbicara bahasa Arab dengan lancar selain 4 bahasa lain (Inggris, Perancis, Italia, dan Swahili) Dia mampu mengambil bahasa yang sangat cepat, ia pernah berkata: "Saya pergi ke Kongo dan orang mendengar berbicara Lingala (bahasa lokal) saya langsung. bisa mulai berbicara itu. " Hari ini, dia memberikan khotbah dan ceramah di Afrika dan Eropa yang menarik ribuan orang untuk mendengarkan dia.Karena anak ini, ribuan orang telah masuk Islam.
Berikut ini adalah artikel tentang dirinya yang dimuat di sebuah surat kabar Skotlandia pada Agustus 8,1999:

BOY, 5, Converts 1,000+ To Islam Full Version Pt 1/4

BOY, 5, Converts 1,000+ To Islam Full Version Pt 2/4 BOY, 5,
BOY, 5, Converts 1,000+ To Islam Full Version Pt 3/4 BOY, 5,
BOY, 5, Converts 1,000+ To Islam Full Version Pt 4/4 BOY, 5,

Pembantaian suku Tutsi. Tidak untuk ditiru-sumber google.
Pembantaian massal di Rwanda atau dikenal Genocide Rwanda terjadi selama 100 hari pada tahun 1994. Tragedi tersebut adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.
Pembantaian bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi. Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon. Peristiwa penembakan keji itu diduga terjadi untuk unjuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana yang berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis yang cukup majemuk di Rwanda. Pada tahun 1990, Habyarimana memiliki gagasan membentuk suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Untuk diketahui, pada saat itu, jumlah penganut Kristen Katholik 56.5%, Protestan 37.1%, Islam 4.6%, Tidak beragama 1.7%, dan pribumi 0.1%.
Pembantaian tak berperkemanusiaan
Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan pejabat pemerintah yang berasal dari suku yang berlainan ini tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan yang dimonopoli satu suku. Konsep pemerintahan power sharing yang melibatkan banyak suku ini tercantum dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993, di mana dalam piagam itu disebut jabatan-jabatan pemerintahan Rwanda, tidak lagi 100% dimiliki oleh suku Hutu. Piagam berisi persetujuan agar suku-suku lainnya juga memiliki hak yang sama seperti suku Hutu. Militan mengangkat planning ini sebagai bentuk ancaman eksistensi suku Hutu dalam pemerintahan, walaupun Habyarimana sendiri juga berasal dari suku Hutu.
Meskipun pelaku penembakan masih simpang siur dan tidak diketahui dengan pasti, tetapi kematian Habyarimana menjadi alasan untuk memberlakukan pembunuhan massal (Genocide) terhadap etnis Tutsi secara terencana dan terorganisir oleh kumpulan militan teroris. Kumpulan militan ini bahkan membentuk Sistem Radio Genosidal yang digunakan untuk memberitahukan dimana Tutsi bersembunyi. Dalam jangka 100 hari sejak kematian Habyarimana, sekitar 800.000 atau bahkan hampir 1.000.000 warga etnis Tutsi mati secara keji dan mengerikan.
Anak-anak korban pembantaian Setelah kematian sang presiden, Pasukan khusus Pengawal Presiden yang dibantu instruktur Perancis segera melakukan aksi cepat, dan menjalin bekerja sama dengan kelompok paramiliter Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.
Penyerangan dimulai dari ibu kota Rwanda. Kemudian ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa mempedulikan status jabatan dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda, yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam Arusha, dibantai.
Sebagian besar korban dibiarkan tergeletak begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Dalam memory, Pegunungan Gisozi menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji.
Kelompok militan yang berasal dari suku Hutu ini membunuh semua penduduk Rwanda yang berasal dari suku Tutsi, tanpa diberi hak untuk membela. Jumlah penduduk Hutu ini mayoritas dan pemeluk agama yang mayoritas saat itu adalah Kristen.

Islam di Rwanda

Pertama kali Islam dibawa masuk ke Rwanda oleh pedagang-pedagang muslim dari Pantai Timur Afrika pada kurun ke-18. Jumlah orang Islam merupakan golongan minoritas di sana sedangkan Gereja Rom Katolik yang diperkenalkan kepada orang Rwanda semasa penyerngan Orang Belgia, penjajahan dan kolonisasi, mubaligh-mubaligh Perancis pada akhir kurun ke-19 memiliki pengikut yang lebih banyak.
Add caption
Korban
Dalam sejarah Islam di Rwanda, untuk pertama kalinya Islam diberikan hak dan kebebasan yang sama sebagaimana agama Kristian. Anggaran menunjukkan bahwa terdapat jumlah orang Islam yang setara di kalangan suku Hutu dan juga suku Tutsi. Anggaran tersebut tidak dapat disahkan disebabkan ketika berlakunya pembunuhan suku, pemerintah telah melarang semua diskusi dan perbincangan mengenai etnik di Rwanda.
Pada tahun 1960, bekas menteri pemerintahan Sebazungu telah mengarahkan agar masjid orang Islam di Rwamagana dibakar. Akibat peristiwa ini, orang Islam diselubungi ketakutan dan banyak di mereka yang melarikan diri ke negara-negara teranggan. Dikatakan bahwa pihak gereja Katolik terlibat dalam peristiwa ini yang memburukkan lagi ketegangan antara orang Islam dengan orang Kristen tersebut, membuat khwatir pihak gereja di Rwanda.
Pada masa sebelum tahun 1994, umat Islam di Rwanda kurang mendapat perhatian pemerintah, sehingga tingkat pendidikan rendah, dan daya serap di dunia kerjapun kurang, yang hal ini menciptakan kondisi di mana umat Islam tidak memiliki pekerjaan layak. Status sosial yang hina tersebut dirasakan oleh umat Islam sampai terjadinya pembantaian massal pada tahun 1994. Populasi orang Islam sebelum pembunuhan suku pada tahun 1994 tersebut adalah sebanyak 4% yang luarbiasa rendah berbanding negara-negara tetangganya.

Islam setelah Pembantaian etnis

Jumlah orang Islam Rwanda meningkat selepas Pembunuhan etnik pada tahun 1994. Salah satu sebab yang mungkin ialah banyaknya orang Islam telah memberi perlindungan kepada pelarian-pelarian suku Hutu dan suku Tutsi. Beberapa sumber menjelaskan bahawa mereka memeluk Islam kerana peranan yang dimainkan oleh pemimpin-pemimpin Katolik dan Protestan dalam pembunuhan kaum tersebut. Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mencatatkan beberapa insiden pendeta-pendeta Kristen memberi restu kepada Kaum Tutsi untuk mendapatkan perlindungan di dalam gereja, kemudian menyerahkan mereka kepada kubu pembunuh Hutu. Contoh-contoh pstur-pastur Hutu yang menggalakkan jamaah mereka supaya membunuh Kaum Tutsi juga telah dicatatkan.
Laporan-laporan perseorangan oleh beberapa orang Kaum Tutsi yang memeluk Islam demi keselamatan diri karena mereka takut akan pembunuhan tindak balas yang berterusan angkara teroris suku Hutu, dan tahu bahwa orang Islam dapat melindungi mereka daripada angkara sebegitu. Begitu juga banyak suku Hutu yang memeluk Islam untuk mencari “penyucian”. Banyak warga suku Hutu melupakan masa silam mereka yang diselubungi keganasan dan tidak mau “mencemari tangan mereka dengan darah”. Terdapat sebilangan kecil contoh kurang popular yang menunjukkan suku Hutu memeluk Islam dengan harapan bahawa mereka dapat bersembunyi di kalangan masyarakat orang Islam dan dengan itu terlepas daripada tangkapan.
Kadar pertukaran agama menurun pada tahun 1997. Menurut mufti Rwanda, masyarakat Islam tidak menyaksikan sebarang peningkatan dalam pertukaran agama ke dalam Islam pada tahun 2002-2003. Agama Kristen masih lagi menjadi agama utama. Mazhab Katolik (yang tiba pada akhir kurun ke-19 bersama-sama White Father dalam Gereja Roma Katolik) masih lagi tertanam dalam budaya negara tersebut. Menurut pemimpin-pemimpin Islam Rwanda, orang Islam membentuk 14% daripada 8.2 juta orang di Rwanda, negara Afrika paling Katolik, dua kali lebih banyak berbanding sebelum pembunuhan itu bermula.
Hampir satu dekade setelah aksi pembantaian ratusan ribu etnis minoritas Tutsi oleh mayoritas Hutu itu, agama Islam justru semakin populer. Seperti ditulis surat kabar Amerika Serikat, Washington Post, Muslim saat ini meliputi 14 persen dari 8,2 juta warga Rwanda.
Genosida itu sangat melukai masyarakat Kristen Rwanda, apalagi terbukti banyak para pastor katolik dan pendeta protestan terkemuka yang terlibat dalam aksi tak berperikemanusiaan itu. Dan kini mereka harus berhadapan dengan pengadilan kejahatan hak-hak asasi manusia (HAM). Salah satunya adalah Elizaphan Ntakirutimana, kepala Gereja Advent Hari Ketujuh.
Ntakirutimana merupakan orang Hutu yang menggiring ribuan warga etnis Tutsi ke gerejanya di provinsi Kibuye dengan janji akan dilindungi keselamatannya. Tapi nyatanya sang pendeta justru menyerahkan orang-orang Tutsi itu kepada milisi Hutu yang kemudian membantai dengan sadis 7.000-an warga Tutsi itu dalam satu hari.
Pada waktu yang sama, Muslim Rwanda - yang umumnya memiliki ikatan perkawinan baik dengan warga Hutu maupun Tutsi-membuka pintu rumah mereka lebar-lebar bagi warga Tutsi yang ketakutan. Entah kenapa warga suku Hutu yang beragama Kristen itu tak berani memasuki kampung atau rumah-rumah keluarga Muslim.
Yahya Kayiranga, pemuda Tutsi yang lari bersama ibunya dari ibukota Kigali di awal pembantaian, diselamatkan dirumah keluarga Muslim di kota Gitarama. Disana ia bersembunyi sampai aksi pembantaian itu berakhir. Namun ayah dan pamannya yang tetap tinggal di Kigali, tewas dibunuh.
“Kami ditolong oleh orang yang tidak kami kenal,” kata anak muda berusia 27 tahun itu, seperti dilaporkan surat kabar Amerika lainnya, Chicago Tribune. Ia kecewa berat dengan perilaku para pastor dan pendeta yang justru ikut terlibat tindakan keji itu. Yahya pun memilih menjadi Muslim di tahun 1996.
“Saya tahu Amerika menganggap Muslim sebagai teroris. Tapi bagi kami orang Rwanda, mereka adalah pejuang pembebas selama masa pembantaian massal,” kata Jean Pierre Sagahutu (37 tahun), warga Tutsi lainnya. Ia yang dulunya Katolik ini memeluk Islam setelah ayah dan 9 anggota keluarganya dibantai oleh warga Hutu yang seagama dengannya.
“Saya ingin menyelamatkan diri ke gereja, tapi tempat itu justru sangat buruk untuk bersembunyi. Lalu sebuah keluarga Muslim membawa saya, dan menyelamatkan hidup saya.”
Sumber :

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.