Articles by "Islam Nusantara"

Tampilkan postingan dengan label Islam Nusantara. Tampilkan semua postingan

Jakarta – : Setiap pergantian tahun masehi, sebagian besar orang ikut merayakan dengan berbagai cara karena dianggap momentum penting setiap tahunnya. Banyak kalangan terutama muda-mudi berpesta di malam ini dan menghabiskan waktu pergantian tahun seolah merasa takut kehilangan bila malam ini terlewatkan begitu saja. Bahkan yang lebih miris, di negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini, banyak orang mengisi pergantian malam tahun baru dengan bermaksiat. Berbagai pesta besar-besaran digelar, mulai dari perkumpulan dengan pesta miras, pesta narkoba, pesta seks serta kemaksiatan lain yang sama sekali tidak bermanfaat bahkan sudah merusak dan memprihatinkan.
Acara gila-gilaan ini sudah menjadi kebiasan tahunan dalam menyambut pergantian tahun. Seharusnya pemerintah lebih serius dalam memberantas segala yang merusak moral bangsa. Dalam hal ini, sudah menjadi tugas rutin Front Pembela Islam (FPI), diseluruh nusantara untuk ikut serta membantu dalam memberantas penyakit masyarakat, yaitu kegiatan maksiat. Tidak terkecuali di salah satu kota besar di Indonesia yaitu Makasar, dimana pesta miras sudah sangat mengkhawatirkan, apalagi menjelang malam pergantian tahun diperkirakan pesta miras ini akan semakin menggila.
Oleh karena itu di Makassar, guna mengantisipasi keadaan tersebut, Kapolda Sulselbar, Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Mudji Waluyo, mengundang beberapa ormas termasuk Front Pembela Islam (FPI) untuk berkoordinasi dengan polisi mengamankan hari-hari menjelang natal dan tahun baru.
Ketua DPD FPI Sulsel, Habib Muchsin Al Habsyi, menuturkan bahwa setelah rapat berlangsung, seluruh peserta rapat diajak Kapolda mengunjungi beberapa tempat yang menjadi prioritas pengamanan dan FPI pun ikut dalam kunjungan tersebut untuk mengapresiasi ajakan Kapolda. Saat kunjungan ke gereja Katedral, Habib Muchsin bersama beberapa anggota FPI berdiri menunggu di luar bersama ormas lain.
“Kegiatan FPI-LPI makasar sesuai permintaan pihak Polda dan Polrestabes Makasar sebatas menjalin hubungan dari itikat baik aparat kepada (Ormas dan warga) untuk bersama-sama menjaga kondusifnya daerah dan kota makasar dari berbagai hal, utamanya dalam pesta-pesta miras, narkoba dan protitusi yang ditiap pergantian tahun tradisi tersebut sering terjadi serta dibiarkan begitu saja”, kata Habib Muchsin Al Habsyi, kepada redaksi fpi.or.id, Selasa, 12 shafar 14 H/ 25 Desember 2012.
Namun patut disayangkan, kehadiran beberapa orang anggota FPI bersama rombongan Kapolda di Gereja Katedral tersebut, oleh beberapa media dianggap sebagai bentuk pengamanan kegiatan natal, padahal tidak demikian. Menurut Habib Muchsin, bahwa media terlalu berlebihan dalam pemberitaan. Pada saat itu, ada beberapa ormas di lokasi tersebut namun yang diangkat dalam pemberitaan media hanya FPI. Sehingga Habib Muchsin menghimbau media jangan berlebihan dalam pemberitaan dan tidak membuat opini bahwa FPI mengamankan natal.
“Dalam perayaan natal dan tahun baru di Makasar, Kapolda Sulsel mengundang rapat, setelah rapat ternyata kunjungan ke Gereja Katedral dan saya ikut cuma diluar, bahwa fpi-sulsel tetap tidak melakukan penjagaan ataupun pengawalan gereja dalam bentuk apapun, hanya saja pihak pers terlalu mengekspos berita di media yang sama sekali terlalu dibesar-besarkan”, keluh Habib Muchsin.
Demikian pula terkait jumlah laskar FPI dan LPI yang disiagakan sebanyak 200 orang bukan untuk berpatroli menjaga gereja, namun mereka diterjunkan untuk membantu polisi dalam memberantas penyakit masyarakat khususnya terkait pesta miras besar-besaran yang terjadi menjelang natal dan tahun baru. Kegiatan koordinasi dengan kepolisian dalam memberantas maksiat ini bukan hanya dilakukan FPI saat menjelang tahun baru saja, namun sudah menjadi kegiatan rutin FPI setiap bulan bahkan setiap minggu.
“Insya ALLAH FPI-LPI Sulsel tetap mengedepankan Amar Ma'ruf- Nahi Munkar di Sulawesi  Selatan ini dan pihak aparat Polrestabes Makasar mendukung penuh upaya membabat habis kemaksyiatan yang terlaksana secara terang-terangan di tempat-tempat umum khususnya di wilayah pusat kota Makasar, dan terkait 200 laskar siaga itu untuk masalah kemaksiatan”, lanjut habib. [fpi/slm]


Sumber :

Jakarta - FPI: Benarkah Indonesia Negara Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jum’at 11 Robi’ul Akhir 1434 H/ 22 Februari 2013.
Secara singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. “Baik usulan Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler. Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH  Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen diwakili A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang, katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam pengesahan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya siding PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Yang berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD 1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, ini jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah. Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta. “Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai sebagai Negara Demokrasi. Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau kalimat  dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara Demokrasi. “Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi.”……. “Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah. Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dalam konteks ini, menurut Habib Rizieq, ada unsure kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap islam dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik ini. Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar. Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil  dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak  hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945 ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…” Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, ”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam, setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi Negara Demokrasi. [slm/fpi]


Sumber : Salam-Online.COM

Penuturan Keluarga Korban Arogansi Densus 88
Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community of Ideological Islamic Analyst)

MAKASSAR  -  “Amat disayangkan…”, itulah kira-kira ungkapan yang mewakili banyak orang. Ketika membaca tangapan dari pihak Polri  atas evaluasi Komnas HAM terhadap aksi Densus 88 dalam penindakan yang dipandang sudah banyak melakukan pelanggaran HAM. Pihak Polri berkelit, bahwasanya evaluasi itu boleh saja tapi perlu diingat para teroris itu juga melanggar HAM. Seperti yang diberitakan oleh laman detik.com, "Kita menghormati hasil evaluasi tersebut, tapi teroris yang membunuh orang juga melanggar HAM," kata Karopenmas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar saat dihubungi detik.com, Selasa (15/1/2013).
Dari sini tampak alergi dan skeptisnya aparat terhadap kritik. Terkesan maunya urusan kontra terorisme minus kritik, khususnya terkait penindakan yang dilakukan oleh Densus 88.
Batapa bopengnya hukum dan penegakkannya di Indonesia, tidak lagi bisa dibedakan mana hukum dan penegak hukumnya. Maling itu melakukan pelanggaran hukum, koruptor itu melakukan pelanggaran hukum, pemerkosa itu melanggar hukum, menipu orang melanggar hukum dan pelakunya harus mendapatkan penindakan dan hukuman yang setimpal. Tapi apakah karena mereka dianggap atau diduga melakukan pelanggaran hukum lantas kemudian aparat penegak hukum bebas melakukan “pengadilan jalanan”? Dan boleh menabrak semua rambu-rambu hukum dan melanggar hak-hak dasar dan prinsip setiap individu yang dianggap kriminil.
Inilah ketimpangan pratek law enforcement pada kasus terorisme. Dalam kasus terorisme koridor-koridor (criminal juctice system) seolah di buang ke tong sampah, hanya karena dalih terorisme adalah extra ordinary crime. Padahal korupsi, pembalakan liar hutan dan pencurian kekayaan laut juga masuk katagori extra ordinary crime, tapi tetap saja berbeda perlakuan bagi pelakunya dari pihak aparat penegak hukum. Tindakan yang extra ordinary hanya untuk kasus terorisme.
Berikut beberapa penuturan dari keluarga korban di Makassar dan Kab.Enrekang terkait kasus terorisme versi Densus 88. Kita buka disini agar menjadi preferensi dan prespektif yang berbeda untuk memahami tentang pentingnya menghargai manusia layaknya manusia.
Jika harus pun seseorang dihukum karena tindak kejahatannya, maka biarlah berjalan mengikuti mekanisme hukum yang juga manusiawi. Dan untuk melahirkan kepercayaan masyarakat bahwa benar negeri ini adalah negeri yang tegak berdiri di atas hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.
Maka tuntutannya adalah harus memiliki substansi hukum yang memadai dan penegak hukum yang bermoral dan kredibel selain punya kapasitas yang cukup profesional ketika kerja di lapangan.
Kali ini Komnas HAM juga diuji nyalinya, masyarakat luas berharap kasus ini tidak menjadi seperti lipstik yang demikian mudah luntur. Dari kasus saat ini komnas HAM harus mendorong pada langkah tegas untuk evaluasi kinerja Densus dan BNPT. Karena mereka semua bekerja dan makan dengan uang rakyat (APBN).
Lain soal, jika mereka dibayar oleh asing. Tapi akan menambah panjang pertanyaan, jadi aparat penegak hukum di negeri ini bekerja untuk kepentingan siapa? Jika kasus ini menguap begitu saja, maka ini sama saja semacam provokasi terhadap umat Islam untuk melakukan advokasi dengan cara yang mereka suka. Ada yang bermain api dengan umat Islam yang dinamis menggeliat menuju kebangkitannya. Sangat riskan! Berikut ini penuturan keluarga korban arogansi Densus 88, hasil investigasi CIIA di pada13 Januari 2013, di Makassar.
Bunga Rosi (Istri Tamrin bin Panganro)
Rosi menuturkan kepada CIIA; Tamrin di Makassar tinggal di Jalan Pajai, di belakang pasar Daya. Nama lain  Tamrin yang di ketahui istrinya tidak ada. Dan beberapa latar belakang sebelum kejadian yaitu pada hari Kamis 3 Januari 2013, berangkat dari Kajang Bulukumba dan tiba di Makassar sekitar jam 23.00 WITA.
Kemudian kejadian esok harinya Jum’at tanggal 4 Januari 2013, sekitar jam 14.00 WITA (setelah shalat jumat).  Selama ini kami menekuni usaha dagang Gula Merah. Ke Makassar dalam rangka ingin membenahi rumah yang pernah dibeli untuk kemudian ditinggali.
Dari Kajang beliau mengendarai sepeda motor Shogun- R warna hitam. Rencananya ingin membeli kap motor dan membayar pajaknya yang sudah tiga tahun menunggak. Juga Ingin ganti plat kendaraan dan perbarui STNK. Tamrin bolak balik Makassar-Bulukumba kurang lebih sudah sebulan.
Hari Jum’at saat kejadian, beliau keluar setelah shalat jumat di masjid dekat rumah untuk mengganti kap motor. Rencana setelah ganti kap motor ingin mengganti (memperbarui) STNK. Keluar hanya membawa dompet.
Dalam perjalanannya beliau bertemu dengan Arbain yang menanyakan hendak kemana tujuan Tamrin.Tamrin kemudian menjelaskan maksud dan tujuannya untuk membeli kap motor namun mengaku belum menguasai seluk beluk jalan yang akan dilaluinya karena baru datang.
Arbain pun kemudian menawarkan jasa untuk mengantarkan beliau sambil menunjukkan jalan. Saya (Rosi) sama sekali tidak tahu apa salahnya Arbain hingga ikut di tangkap Densus juga.
Saya (Rosi) tidak menyaksikan proses penangkapan suami saya. Dan mengetahui jika beliau ditangkap hanya dari orang-orang di luar. Sebagian informasi kami dapatkan dari media. Saya kemudian menduga jika suami saya menjadi salah satu korban penangkapan.
Sampai detik ini tidak ada satu pun aparat yang pernah menghubungi saya menyampaikan perihal keberadaan suami saya sekarang padahal sudah dua pekan lebih sejak penangkapan. Saya tidak pernah melihat suami saya lagi sejak Jumat itu. Saya dan keluarga sudah keliling mencari dan bertanya namun tidak menemukan.
Selama ini Tamrin hanya menggeluti usaha gula merah yang sebelumnya pernah menjadi tukang kayu, dagang sapi, dan menyadap kelapa untuk membuat gula merah. Kami pindah ke Makassar atas usul dari salah satu saudara saya dan kemudian saya menjual tanah saya di Kajang.
Sebelumnya saya tidak merasa dibuntuti atau diikuti. Karena selama ini kami hanya menggeluti usaha gula merah.Tamrin juga sangat jarang keluar rumah.
Saya tidak mengenal Arbain bin Yusuf karena dia orang sini (Makassar). Mungkin juga dia punya usaha lain. Saat ini saya tidak tahu bagaimana keadaan Tamrin. Saya ingin sekali mendapat kabar tentang suami saya.
Kini istri Tamrin bersama anak-anak kecilnya tidak tau harus berbuat apa.Karena sampai penuturan ini dipublish juga belum ada informasi dari Densus 88 perihal Tamrin. Dan hari-harinya menjadi serba tidak menentu dengan beban pikiran dan perasan yang tidak bisa dilukiskan. Semua jadi serba berat menjalani tanpa kehadiran seorang suami.
Samad (adik Tamrin), menambahkan penuturanya Rosi
Saya tidak ada dilokasi saat penangkapan tapi di kota. Saya tidak tahu kasus penangkapan itu dan belum ada informasi dari pihak kepolisian bahwa kakak saya ditangkap. Belum ada penjelasan kepada keluarga. Hari jumat ditangkap sekitar jam 14.00 WITA di belakang pasar Daya lama di Jalan Paccerakkang.Tamrin boncengan sama Arbain bin Yusuf keluar dari Kompleks Graha Pesona.
Belum ada informasi dimana tempat penahanannya kalau ditahan dan kalaulah luka dimana diobati. Sudah ada beberapa tempat saya cari, di markas Brimob di Jl. KS. Tubun, di Brimob di Jl. St. Alauddin, RS Bayangkara tidak ada dan istrinya kemarin ke rumah sakit Daya juga tidak ada. Hanya di Polda belum dicoba. Pernah jumpa pers di depan media Celebes TV dan Metro TV untuk meminta informasi tentang keberadaan kakak saya.
Saya kehilangan jejak kakak saya. Saya pernah ke LBH tapi saya tidak dapat jalan keluar. LBH juga tidak memberi petunjuk tentang keberadaannya kakak saya. Namun belum tahu langkah apa yang mau diambil karena belum ditahu dimana tempatnya Tamrin.
Hari jumat siang anaknya Tamrin dari RS Bhayangkara, 1 minggu dirawat namun sudah keluar pagi tadi. Yang mau saya tau dimana lokasi kakak saya. Tidak pernah ada yang datang untuk menggeledah rumah. Hanya dipasar Daya saja langsung diculik.
Kalau polisi punya indikasi terhadap Arbain kan dicari dulu dirumahnya, dan memberi tahu keluarganya jika ada kejadian/tindakan. Tapi tidak pernah ada pencarian yang berarti tidak ada indikasi. Sekarang kehilangan jejak tentang keberadaan Tamrin. Tamrin tiga anaknya masih kecil-kecil juga.
Kondisi keluarga masih bingung karena belum ditahu keberadaannya. Seandainya dibertahu keberadaannya bisa diobati atau dibesuk. Dia keluar jam setegah dua ba’da Jum’at untuk beli alat-alat motor. Kamis malam sekitar jam 23.00 WITA dari Bulukumba.
Tahu Arbain bin Yusuf tapi tidak terlalu kenal. Baru 2 bulan tinggal disini tanggal 3 Desember 2012. Ia ditangkap 2 orang yang ditembak Tamrin. Tolong fasilitasi saya untuk mencari tahu keberadaan kakak saya. TAMRIN kelahiran 1972. Kalau dia (Densus) melakukan ini luar biasa, langsung menembak saja tidak pernah ada pemberitahuan kepada keluarga padahal bawa tanda pengenal (sebagai penegak hukum). Saya rencana ke Polda sekarang.
Kalau upaya hukum, insya Allah masih hidup dia sendiri yang akan menyampaikan sama kita. Sekarang tidak bisa karena tidak diketahui statusya sehingga langkah hukum tidak bisa dipastikan. Yang penting dulu menemukannya. Karena banyak ketidak jelasan jadi saya tidak bisa menyampaikan apa-apa. Terhadap pengelola negara sangat mengharapkan informasi tentang keberadaan kepada kakak saya.Dimana dia? Kok seperti lenyap ditelan bumi. Padahal jelas-jelas Densus yang ambil.
Hanadiah (Istri Asmar/korban meninggal)
Ia istri dari Syamsuddin alias Asmar alias Abu Uswah menuturkan; pas saat jelang kejadian, Asmar sempat masuk ke dalam rumah sakit, tiba-tiba dia keluar pergi wudhu trus masuk masjid untuk shalat Dhuha. Tiba-tiba temannya ditembak. Kemudian selang beberapa menit dia nyusul dari belakang karena tidak tahu mungkin tentang hal itu. Ia pun kemudian ditembak di paha kirinya.
Setelah itu dia bangun, mungkin mau lari atau apalah saya tidak tahu, karena almarhum sendiri tidak tahu apa kesalahnnya. Saat itu kakinya dilumpuhkan dua-duanya. Ini menurut penuturan orang  yang menyaksikan disana kepada saya. Almarhum  kemudian saat akan dibawa masih sempat disiksa, dipukuli dan ditendang pake sepatu laras. Kemudian ditembak lagi didadanya, diberondong peluru setelah tewas kemudian dimasukin kedalam kantong plastik baru dimasukin kedalam mobil.
Saya tidak pernah melihat jenazah almarhum. Hanya foto yang saat kejadian yang saya sempat lihat, itupun dari mereka yang menyaksikan dilokasi. Mereka mendokumentasikan dengan HP. Hari itu dia cuma pamit katanya ingin menjenguk teman di rumah sakit.
Tidak ada sama sekali dia membawa apa yang seperti dituduhkan. Dia dituduh membawa granat, granat dari mana? Yang saya tahu dia berangkat hanya untuk menjenguk temannya yang lagi sakit. Katanya ke rumah sakit diantar teman, tatapi saya sendiri tidak tahu temannya itu siapa.
Sampai saat ini tidak ada informasi dari Densus. Saya hanya ikuti melalui berita di televisi saja. Tidak ada pemberitahuan atau surat penangkapan.
Saya tinggal disini, KTP suami saya di BTN Mangga Tiga karena saya pernah tinggal di sana. Menurut saya kelakuan Densus seperti binatang. Mereka seenaknya memberondong. Orang yang lagi shlat kok ditembak, tanpa ada pemberitahuan dan peringatan.
Bagi saya, almarhum seperti halnya orang kebanyakan, ya biasa-biasa. Meski pendiam tapi biasa juga Bermain dengan anak-anak, bergaul dengan masyarakat. Biasalah. Tidak ada yang aneh-aneh dari beliau.
Beliau sering dirumah. Kalau keluar paling dia ke masjid untuk shalat, atau keluar belanja. Tidak ada kegiatan yang aneh. Sehari-hari almarhum kerjanya serabutan, kerja apa yang bisa. Kadang diajak oleh temannya kerja bangunan.
Saya juga kaget dengan adanya peristiwa di rumah sakit itu. Tiba-tiba kok begitu kejadiannya. Saya tidak tahu apa kegiatannya, apa pekerjaannya terkait peristiwa itu. Demikian juga yang sudah saya sampaikan di Polda beberapa hari setelah kejadian. Sekitar tiga atau empat hari setelah kejadian saya menyampaikan bahwa saya tidak tahu semua tentang yang mereka tuduhkan.
Polisi sempat mengatakan bahwa mungkin mereka (polisi) lebih tahu. Kemudian saya jawab, iya, kalian yang lebih tahu berarti kalian sendiri yang menciptakan ini semua. Saya tidak tahu dan tidak pernah bertanya tentang itu. Kalau pulang kerumah, paling-paling bergurau dengan anak-anak.
Almarhum meninggalkan tiga orang anak. Yang paling tua, Uswatun Mawaddah saat ini kelas 5 SD. Yang kedua laki-laki 5 tahun, Muhammad Fatih, dan yang ketiga, Lulu, 2,4 tahun.
Almarhum adalah tulang punggung keluarga selama ini. Entahlah, kedepannya seperti apa setelah almarhum tidak ada. Belum jelas karena masih dalam keadaan berduka.
Harapannya agar jenazah almarhum segera dikembalikan. Karena keluarga menunggu untuk dimakamkan. Densus juga harus benar dalam melakukan tugasnya. Teliti dangan baik, Selidiki dulu dengan benar.  Apalagi jika peristiwa itu terjadi di rumah Allah SWT (masjid), sangat disayangkan. Ini sudah menyepelekan kaum muslimin!.
Athrizah Dwi Hatmawan (Istri Arbain bin Yusuf)
Arbain di tangkap bersama Tamrin saat mau belanja barang di pasar daya. Dwi menuturkan; Pagi sekitar jam 09.00 WITA Arbain masih dirumah,  tidur di rumah dan mau shalat  Jum’at di mesjid setempat. Tapi saya ada jadwal masak untuk santri, makanya saya minta tolong suami saya untuk belanja ke pasar.
Dia ngajak pak Tamrin karena katanya sekalian mau beli kap motor.  Habis shalat jumat sampe sore suami saya tidak pulang. Lalu saya lihat berita kalau ada yang ditangkap dipasar Daya. Lalu Saya liat di internet kalo Arbain dan Tamrin dibuntuti dari sini.
Sempat ada kabar kalau Arbain sudah meninggal. Namun ada teman yang cari info ternyata sudah ada di Jakarta. Dikasih nomor telpon atas nama pak Norman (081280464020) pengacara Densus dari jakarta. Teman saya cuma pesan sebatas itu saja dan pada Hari Jum’at dapat surat penangkapan 1 minggu setelah kejadian.
Ada rencana mau dipindahkan tahunya dari berita saja. Sekarang masih belum tahu bagaimana kepindahannya. Sempat ada kabar dan kasih informasi ke ke saya. Hari kamis bapak saya yang di Jawa berangkat ke Jakarta sempat melihat kondisi suami saya. Kondisinya luka ditangan bekas penangkapan namun tidak tau pasti karena penjagaannya ketat sekali. Dan tidak sempat banyak bertanya jadi tidak tahu persis. Tapi masih baik kondisinya. Saya tidak melihat kejadian secara langsung tapi hanya melihat dari berita.
Harapan saya, Kalau pun suami saya memang salah, harusnya sesuai dengan prodesur yaitu dikasih surat penangkapan dulu. Kalau pun suami saya disangka terlibat dalam jaringan teroris faktanya suami saya itu sehari-harinya hanya menjual dan tidak pernah kemana mana.
Namun pun demikian jika bersalah harusnya sesuai prosedur penangkapan dengan memberikan surat penangkapan bukan langsung main tangkap.  Saya berharap bisa lebih maksimal dukungannya dari umat Islam. 
MuthmaInna (istri Syarifuddin)
Densus juga mengobok-ngobok daerah Enrekang (sekitar 5 jam perjalanan darat dari kota Makassar), dan ada 9 orang lainya yang ditarget untuk di ambil. Dan yang menjadi target utama oleh Densus adalah Syarifudin, dengan alasan menyembunyikan bom rakitan yang siap digunakan. Dan istri Syarifudin menuturkan seputar penangkapan sebagai berikut;
Saya berada di lokasi tapi tidak melihat kejadian, tetapi adik saya yang lihat. Saya saat itu akan shalat maghrib, dan diberitahu setelah shalat. Kejadiannya malam Sabtu pukul 18.30 WITA. Katanya, saat itu suami saya (Syarifuddin) baru mau naik ke jalanan masuk masjid untuk shalat maghrib, tiba-tiba motornya ditendang sama Densus dan jatuh dari motor dan diringkus Densus. Dan ketika bilang mau solat magrib, dibentak Densus “tidak perlu solat!”. Dan bahkan izin mau pakai celana dalam dulu, itupun ditolak karena saat itu dia hanya pakai sarung untuk pakaian bawahnya. Adik saya yang lihat karena suaminya juga sempat ditangkap Densus namun telah dilepaskan.
Tempatnya kejadian di Kampung Kalimbua Kelurahan Kalosi Selatan, Kecamatan Alla Enrekang. Kejadiannya sangat tiba-tiba saja. Saya sama sekali sebelumnya tidak pernah dihubungi atau tahu kejadian apa. Sebelum kejadian saya sekeluarga hanya di Enrekang saja.
Saya pernah baca di media bahwa  suami saya pernah keluar selama dua bulan, saya bilang ini omomg kosong dan saya bantah karena kenyataanya suami saya selama ini berada di Enrekang sejak tahun lalu sampai tahun sekarang.
Suami saya kegiatannya hanya sehari-hari jual tahu sama tempe. Kalau pagi berangkat jual tahu tempe sampai jam 9 pagi, lalu berangkat ke kebun sampai dhuhur. Setelah itu membuat tahu tempe sampai sore, begitu terus kegiatannya sampai penangkapan.
Saya setelah maghrib mencari suami saya namun sudah tidak ketemu dan masjid sudah kosong. Saya cuma diberitahu bahwa tadi ada penangkapan Densus yang datang dengan 9 mobil avansa, mereka berpakaian preman yang jumlahnya lebih dari 50 orang.
Setelah penangkapan saya sudah dihubungi dan katanya sekarang dia sudah di Mabes. kalau mau menghubungi (Syarifuddin) harus melalui pengacara  saya yang sudah disiapkan Densus.
Saya tidak menerima kalau suami saya dituduh karena pernah lama ke luar kota, karena suami saya tidak pernah tinggalkan daerah. Hanya pernah ke luar ke Makassar paling lama 5 (lima) hari pergi pengajian, tidak lebih dari itu dan itu pun bersama saya.
Kejadian penangkapan sekitar 100 meter dari rumah saya, kejadian dekat masjid At-Taqwa. Saat kejadian tiga orang yang ditangkap Densus, terakhir lagi kemenakan saya Fadil alias Fahri juga diambil Densus. Yang diambil sama Densus semua keluarga saya.
Di rumah saya Densus mengambil barang-barang tombak, bensin 5  liter yang saya baru beli untuk pabrik tahu, parang, pupuk untuk berkebun, bahkan celengan kaleng yang berisi duit sekitar 400 ribu juga di ambil, Densus juga membawa ember-ember.
Barang-barang yang dibawa itu selama ini dipakai untuk buat tahu tempe. Rumah saya sudah dua kali digerebek dan katanya ada senjata. Motor cicilan saya juga diambil sama Densus. Setahu saya yang ada di pabrik tahu saya cuma parang. Yang dikasih garis polisi kebun saya yang katanya ada senjata, jaraknya 5 kilo meter dari rumah saya. Saya merasa suami saya tidak punya salah atau bukti kejahatan karena saya tahu kegiatnnya sehari-hari.
Mutthoharah (Istri  Sukardi)
Istri Sukardi menuturkan; Kejadiannya Jumat sore pukul 18.30 WITA, saya tidak lihat pas kejadian seperti apa dan bagaimana, sampai bapaknya Abu Dzar (Syarifuddin) jatuh, cuma pas jatuh saya sempat dengar dia berteriak “apa salah saya”. Dia sempat memberotak tapi langsung dibekuk tangannya kemudian kakinya, setelah itu dia diangkat dinaikkan ke mobil Avanza, kalau tidak salah warna hijau, karena saya melihatnya dari atas rumah. Jadi agak jauh.
Waktu itu Saya kira ada kejadian biasa seperti  tabrakan. Saya tidak tahu kalau kejadian ternyata lain. Jadi saya masuk kembali kedalam rumah, turun untuk ambil air wudhu kemudian naik lagi ke atas dan saya liat sudah penuh dengan Densus. Saya melihat Densus dengan bersejata lengkap. Ada satu orang tingi besar, memakai semacam rompi  mendekati  jamaah sambil bertanya;”siapa namanya Fadli?” Suami saya menjawab bukan.
Waktu itu suami saya duduk di teras masjid. Karena tiga kali dipanggil tidak bergerak, akhirnya orang tadi mendekatinya dan membekuk lehernya kemudian dibawa pergi. Karena kaget saya kemudian turun dan lompat dari rumah, masuk gorong-gorong. Begitu mereka  lihat saya keluar lalu mengarahkan senjata sambil membentak menyuruh masuk. Katanya “Masuk!”, trus saya bilang saya mau pergi ambil anakku, jadi saya bilang “anakku, anakku”.
Saya kemudian mendatangi anak-anak dan bertanya “mana bapaknya syahrul?” Saat saya bertanya itulah saya melihat dia diseret bersama tiga orang lainnya. saya mendengar suami saya bilang “apa salah saya?” mereka lalu bilang “kamu keluar!, kamu keluar!” suami saya bilang “saya ndak keluar-keluar”. Terus dia lari sambil bilang “anakku, anakku”, terus mereka jawab bawa saja dengan anakknya. Jadi saya mecoba menarik tangan suamiku sambil berkata “tunggu dulu, apa salahnya suamiku?” jadi dua tangan saya masing-masing menarik suami dan anak saya.
Terus mereka bilang “Bapak keluar, bapak keluar toh?”, saya jawab “kemana? Tidak, bapak tidak pernah keluar. Tunggu dulu, apa salahnya suamiku ?” mereka bilang “sebentar bu, kita mau minta keterangan saja”.
Keterangan apa? Suamiku tidak bersalah saya bilang. Nah, disaat saya sedang menarik tangan suamiku, kemudian datang lagi satu orang yang badannya besar dan berkata “kalo memang tidak mau, tembak saja dia!” jadi saya bilang tunggu dulu. Saya kemudian berhenti menarik, dan setengah berbisik  ke telinga  suami saya “Pergimiki. Isya Allah itu Allah melindungiki kalo kita tidak pernah salah. karena kita memang tidak pernahji keluar.”
Karena waktu itu banyak sekali mobil, saya tidak tahu ke arah mana suami saya dibawa. Jadi waktu penangkapan itu  ada banyak orang, ada  jamaah di dalam masjid. Jadi Waktu suami saya ditangkap dia sedang menemani anak saya ke belakang yang ingin buang air besar. Itu yang kemudian Densus katakan bahwa suami saya ingin melarikan diri. Bagaimana dia mau melarikan diri sedang saat itu dia sedang bersama anaknya.
Pak Sukaradi ditangkap pas setelah salat maghrib. Kalau pak syarifuddin pas saat shalat, kalau tidak salah saat rakaat pertama. Yang saya dengar, Saat itu dia minta untuk shalat dulu. Kata penduduk ditunggui ji memang tapi mereka menendang motor pak Syarifuddin. Karena kaget, dia balik dan bertanya, ada apa ini? Apa salah saya, saya mau solat dulu. Tapi mereka bilang “tidak usahmi solat!”. Lokasi kejadiannya di Masjid Taqwa. Saat itu ada sekitar sepuluh jamaah di dalam.
Nurlaila (Istri Fadli)
Nurlaila menuturkan kepada CIIA; Tidak tahu apa alasan penangkapan karena saat itu pas lagi solat maghrib. Pak Syarifuddin ditangkap saat solat, tapi Fadli setelah solat maghrib.
Barang yang diambil jirigen, juga uang. Rumah digeledah isinya. Ada tiga rumah yang digeledah. Setelah penangkapan tidak ada yang dihubungi. Ada beberapa berita dari internet yang kurang sesuai. Diberitakan suami saya melakukan perlawanan padahal tidak ada sama sekali perlawanan waktu ditangkap. Densus Waktu itu ada sekitar sembilan mobil. Jadi waktu malam sabtu itu ada tiga orang yang dibawa.


Konfrontasi umat Islam dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkap­kan di muka bahwa kedatangan Portugis ke Maluku ber­samaan waktunya dengan kedatangan Spanyol yaitu pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen ke Maluku, semula disambut baik oleh kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur dan di Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun.

Kedatangan Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk meng­kristenkan umat Islam Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di bawah pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun mengkristenkan umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan saja dengan da'wah tetapi lebih
banyak dengan jalan paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata sebagaimana dilakukan di Spanyol pada akhir abad-ke-15.

Perjanjian persahabatan dan dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur Portugis-Kristen de Mesquita yaxxg ;di tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap se­olah-olah Sultan Khairun itu di bawah jajahan Portugis-­Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun ditangkap oleh Gubernur de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajah­an Portugis-Kristen di Timur.

Dari Goa sultan di bawa ke portugal di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis dengan Sultan Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga keputusan yarig diambil sangat menguntungkan Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu menyebut­kan bahwa hak-hak sultan sebagai mana biasa diakui, tetapi Portugis-Kristen berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dan usaha missi Kristen­Katholik untuk kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi oleh sultan. Dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur Portugis-Kristen, maka raja Portugis­lah yang berhak menyelesaikannya.

Perjanjian yang sangat merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin terjepit, apalagi sultan-sultan Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah ke­hilangan kekuasaannya. Tidore semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa memeluk agama Kristen dan Jailolo telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi seperti itu, tinggal Sultan Khairun masih berdiri tegak menghadapi penjajah Portugis-Kristen.

Baru saja satu tahun perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen berjalan, ternyata Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah menganggap bahwa kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta sekaligus menyatakan perang kepada Portugis-Kristen. Keputusan ini dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate. Pelaksanaan perintah ini menimbulkan per­tempuran, yang mengakibatkan beratus-ratus missio­naris dan umat Kristen mati terbunuh dan beribu-ribu orang Kristen yang sempat melarikan diri ke Ambon dan Mindanao.

Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga cepat-­cepat meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datang­nya tentara Portugis-Kristen dari Malaka dan Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat untuk mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan tentara Islam Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara Portugis-
Kristen. Oleh karena itu Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak damai.

Ajakan damai diterima oleh Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk Kristen harus keluar dari Ternate sekaligus dan tidak boleh ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate. Perjanjian perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi antara Sultan Khairun dengan Gubernur de Masquita, dengan masing-­masing memegang Kitab Suci, Al-Qur'an bagi Sultan Khairun dan Injil bagi Gubernur de Masquita. Kemudian atas inisiatif Gubernur de Masquita akan diselenggara­kan resepsi peresmian perjanjian perdamaian itu di kediaman gubernur sendiri.

Di saat resepsi berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya duduk berhadap-hadapan dengan gubernur de Masquita, tiba-­tiba seorang pengawal dari tentara Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal dunia, hanya sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri dan pulang ke Ternate. Pengkhianatan ini terjadi pada 28 Februari 1570.

Peristiwa ini sepenuhnya dilaporkan kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun, di Ternate. Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini menimbulkan amarah umat Islam di Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi Sultan Ternate menggantikan ayahnya. Dalam pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya untuk berperang dengan Portugis-Kristen, sampai Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan bela atas kematian ayahnya ter­laksana, semua rakyat yang hadir dalam upacara pe­lantikan sultan ini, menyatakan kesetiaannya dengan Penuh ruhul jihad dan mati syahid.

Pasukan tentara Islam dibawah pimpinan Suitan Babullah sendiri bergerak menuju kedua jurusan: satu pasukan tentara Islam dikirim untuk menghancurkan benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya ditugaskan untuk meng­hancurkan benteng Portugis-Kristen di Ambon. Raja Bacan yang telah menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen, sedangkan Sultan Tidore menyokong tentara Islam Ternate.

Pertempuran dahsyat tak terhindar, sehingga korban dikedua belah-pihak banyak yang berguguran. Berkat semangat mati syahid yang dimiliki oleh pasukan Sultan Ternate, maka akhirnya benteng pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil di bakar, sehingga hanya sebagian kecil pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan terus ke Malaka. Tinggallah para pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas, khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate.Tetapi begitu pasukan tentara Islam tiba, dengan tegas mereka menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan diampuni dan tidak akan dipaksa masuk agama Islam, asal mengakui tunduk kepada kekuasaan Sultan Babullah.Yang dikejar dan harus dibunuh adalah penjajah Portugis-Kristen sebagai pengkhianat yang keji.

Walau benteng pertahanan Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng pertahanan Portugis-­Kristen di Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima tahun lamanya. Benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternate yang terkurung selama lima tahun lamanya dan bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari Malaka dan Goa tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya timbul kelaparan dan penyakit yang melanda pasukan Portugis-Kristen yang terkurung itu. Dan alternatif satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam Ternate.
Mendengar penderitaan dan kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di dalam benteng yang terkurung itu maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada mereka yang terkurung di dalam benteng untuk menerima usul Sultan. Isi usul atau
tawaran Sultan itu antara lain berbunyi: "Apabila orang-orang Portugis mau mengakui kekalahannya dalam 24 jam ini, Sultan bersedia memberi izin tentara Portugis-Kristen meninggalkan benteng itu dengan senjatanya sekaligus dan terus berangkat ke Malaka atau tempat lain. Bahkan jika bangsa Portugis-Kristen bersedia menyerahkan hidup-hidup Gubernur de Masquita ketangan Sultan, untuk menjalankan hukum "qishas", maka sultan bersedia untuk melakukan per­janjian persahabatan kembali dengan Portugis-Kristen, dengan tidak mengurangi kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan rakyatnya.

Akhirnya pada akhir tahun 1575 tentara Portugis-­Kristen menyerah kepada Sultan Babullah, dan berkibarlah bendera pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen.


Latar Belakang
Untuk mencukupi kebutuhan di Negaranya Portugis melakukan pelayaran ke Dunia timur.dengan maksud mencari rempah rempah.tempat pertama yang didatangi mereka adalah Malaka,setelah berhasil merebut Malaka mereka kemudian, mengalihkan perhatiannya ke Maluku.mereka telah mengetahui bahwa Maluku merupakan penghasil rempah rempah terbesar di Nusantara.Setela itu,mereka membangun kerja sama dagang dengan Kesultanan Ternate ketika itu kesultanan Ternate dan Tidore saling bermusuhan bersamaan dengan itu Armada Laut Spanyol datang ke Maluku pada Tanggal 1521.Spanyol yang sedang bersaing dengan Portugis diterima di Tidore karena diangap melanggar perjanjian tordesilas maka Armada Spanyol pergi dari Maluku dan menetap di Philipna.Portugis kemudian merasa berkuasa sehingga bersika sewenang wenang terhadap Rakyat Maluku para penguasa Ternate yang semula menjadi sekutu Portugis akhirnya juga menentang Portugis.

Menuju Peperangan
Akhirnya di bawah Sultan Khairun Rakyat Maluku bangkit menentang Portugis namun,Gubernur Portugis,De wesquita,menangkap dan menawan Sultan Khairun tindakan Portugis tersebut memicu kemarahan Rakyat Maluku Rakyat Ternate segera menyerang dan membunuh sedadu serdadu Portugis membuat Portugis kewalahan dengan siasat liciknya menawarkan perundingan kepada Sultan Khairun tapi ternyata Sultan Khairun tewas dibunuh di dalam benteng tempat perundingan dilangsungkan. Pertempuran. pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita untuk diadili.Namun Ditolak,Akhirnya, Sultan Baabulah melakukan serangan terhadap kedudukan Portugis. Benteng benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo kediaman De Mesquita. Atas perintah Baabullah pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekedar agar penghuni benteng bisa bertahan. Sultan Baabullah bisa saja menguasai benteng itu dengan kekerasan namun ia tak tega karena cukup banyak Rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka tinggal dalam benteng bersama keluarganya. Karena tertekan Portugis terpaksa memecat Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide namun langkah ini tidak berhasil meluluhkan Baabullah.Meskipun bersikap Agak sedikait lunak terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah tidak melupakan sumpahnya, ia mencabut segala fasilitas yang diberikan Sultan Khairun kepada Portugis terutama menyangkut misi Jesuit, kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis – habisan, tahun 1571 pasukan Ternate dibawah pimpinan Kapita Kalakinka menyerbu Ambon dan berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis dibawah kapten Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi kristen berhasil memukul mundur pasukan Ternate di pulau Buru untuk sementara namun segera jatuh setelah Ternate memperbaharui serangannya kembali dibawah pimpinan Kapita Rubuhongi. Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat menjadi kawula kerajaan. Kemenangan Rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera Nusantara atas kekuatan barat dan oleh Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate ini dipuji sangat penting karena menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.