Articles by "Ormas"

Tampilkan postingan dengan label Ormas. Tampilkan semua postingan

Jakarta – : Dapur Da'i Nusantara (Da’ina) bekerjasama dengan Masjid Baiturrahman menggelar bedah buku "Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah", karya Habib Rizieq Syihab,  Ahad, 10 Pebruari 2013 di Masjid Baiturrahman, Jakarta Selatan. Buku tulisan Ketua Umum FPI  itu memang menarik untuk dikaji, karena secara terminologi dan sudut pandangnya, buku itu berbeda dengan buku-buku tentang kebangsaan, keindonesiaan, NKRI, Pancasila, demokrasi maupun UUD 1945 selama ini.
Habib Rizieq Syihab meski dalam keadaan kurang sehat, menyempatkan hadir dalam acara tersebut dan memberikan sambutan pengantar. ”Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan pandangan-pandangan saya tentang berbagai hal mengenai Wawasan Kebangsaan yang pernah dimuat dalam tabloid Suara Islam. Dulu saya sering berdiskusi dengan almarhum Hussein Umar (Ketua Umum Dewan Da’wah-waktu itu). Dari diskusi itu, saya ceramah tentang Liberalisme, NKRI, dan berbagai isu tentang Wawasan Kebangsaan. Atas dorongan beberapa teman-teman, seperti Pak Munarman, Pak Aru Syeif, Ustadz Al-Khaththath, ceramah saya itu kemudian dituliskan dan dimuat di Suara Islam. Sesudah itu, karena sudah cukup banyak, lantas diterbitkan menjadi buku oleh Suara Islam Pers," ungkap Habib Rizieq.
Habib kemudian berharap dari acara bedah buku ini  akan muncul ide dan pemikiran yang bisa menjadi bahan untuk menyempurnakan buku ini pada terbitan berikutnya. Seusai memberi sambutan pengantar, Habib minta maaf tidak bisa mengikuiti acara sampai selesai karena harus berobat.
Acara yang dimoderatori Ketua Umum Da’ina, Masrur Anhar itu berlanjut dengan pembahasan buku. Hadir sebagai pembahas, Syarifin Maloko, SH, MM, (mubaligh, mantan anggota DPRD Jakarta), Habib Muhsin al-Attas (Ketua DPP FPI), dan Muhammad al-Khaththath (Sekjen FUI). Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr. Hamdan Zoelva, yang direncanakan ikut membedah buku, berhalangan hadir.
Dalam pandangan Syarifin Maloko, kehidupan di Indonesia saat ini lebih dikuasai dan didikte asing, termasuk legislasi atau pembuatan undang-undang. Syarifin mengkritik pemerintahan SBY yang banyak dilanda korupsi dan inefisiensi. Lebih menukik, Syarifin yang pernah dipenjarakan Orde Baru menyoroti kehidupan umat Islam yang terkotak. “Terutama dibidang politik, tidak kompak dan mudah diadu domba”, ujarnya.
Pembahas berikutnya Habib Muhsin Al-Attas menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan umat Islam. “NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah ide cemerlang Mohammad Natsir melalui Mosi Integral”, ujarnya.
Habib Muhsin lantas menguraikan sosok Habib Rizieq yang digambarkan mempunyai stamina juang luar biasa dalam memimpin Front Pembela Islam. “Habib Rizieq identik dengan FPI dan sebaliknya”, ujar Habib Muhsin yang juga menjadi salah satu Ketua FPI. Habib Muhsin menceritakan kemauan kuat Habib Rizieq dalam menegakkan ajaran Islam, meskipun pada masa-masa awal pendidikan Habib, pernah sekolah di SD dan SMP Bethel, Tanah Abang.
Habib Muhsin kemudian menjelaskan keterkaitan FPI dengan kehidupan politik di Indonesia. “Sampai saat ini masih menjadi kajian serius, apakah FPI akan membentuk partai politik atau tidak”, ujar Habib Muhsin. Dijelaskan, di dalam masyarakat berkembang perbedaan pendapat antara berjuang di dalam sistem atau di luar sistem.
Sementara M. Al-Khaththath (Sekjen FUI) sebagai pembahas terakhir menegaskan bahwa buku Habib Rizieq ini sangat penting dan sangat diperlukan bagi generasi muda Islam saat ini. “Buku ini memberikan kita pandangan Islami tentang berbagai hal terkait Wawasan Kebangsaan yang selama ini didominasi pandangan-pandangan liberal. Buku ini bisa disebut Wawasan Kebangsaan Versi Islam”, ujar M. Al-Khaththath.
Sekjen FUI itu menjelaskan berbagai pertarungan nilai-nilai liberal dan Islam dalam masyarakat Indonesia saat ini. Termasuk upaya-upaya penggantian istilah-istilah bernuansa Islami. Misalnya sekarang digalakkan istilah parlemen, menggantikan MPR/DPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau Dewan Perwakilan Rakyat).
Al-Khaththath menguraikan panjang lebar dinamika mensosialisasikan Syariat Islam  dalam kehidupan masyarakat, termasuk bagaimana mengusung Capres Syariah. ”Beberapa elemen dan ormas Islam sudah oke, seperti MMI, GARIS, tinggal menunggu yang lain menyusul,” ujarnya.
Sesusainya pemaparan pembahas, giliran peserta memberi tanggapan dan masukan. Sekitar 500-an hadirin yang memenuhi aula Masjid Baiturrahman berebut ingin menyampaikan aspirasi, pendapat, usulan, dan masukan. Suasana terasa seru ketika peserta bersemangat menyampaikan pertanyaan dan harapan-harapan. Acara kemudian ditutup menjelang Dzuhur. Moderator Masrur dari Da’ina menegaskan acara-acara serupa dalam kaitan sosialisasi Syariat Islam akan terus digelar di berbagai tempat di masa-masa mendatang.. ALLAHU AKBAR!.. [slm/fpi]


Sumber : Suara-Islam.COM

Jakarta – : Setiap pergantian tahun masehi, sebagian besar orang ikut merayakan dengan berbagai cara karena dianggap momentum penting setiap tahunnya. Banyak kalangan terutama muda-mudi berpesta di malam ini dan menghabiskan waktu pergantian tahun seolah merasa takut kehilangan bila malam ini terlewatkan begitu saja. Bahkan yang lebih miris, di negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini, banyak orang mengisi pergantian malam tahun baru dengan bermaksiat. Berbagai pesta besar-besaran digelar, mulai dari perkumpulan dengan pesta miras, pesta narkoba, pesta seks serta kemaksiatan lain yang sama sekali tidak bermanfaat bahkan sudah merusak dan memprihatinkan.
Acara gila-gilaan ini sudah menjadi kebiasan tahunan dalam menyambut pergantian tahun. Seharusnya pemerintah lebih serius dalam memberantas segala yang merusak moral bangsa. Dalam hal ini, sudah menjadi tugas rutin Front Pembela Islam (FPI), diseluruh nusantara untuk ikut serta membantu dalam memberantas penyakit masyarakat, yaitu kegiatan maksiat. Tidak terkecuali di salah satu kota besar di Indonesia yaitu Makasar, dimana pesta miras sudah sangat mengkhawatirkan, apalagi menjelang malam pergantian tahun diperkirakan pesta miras ini akan semakin menggila.
Oleh karena itu di Makassar, guna mengantisipasi keadaan tersebut, Kapolda Sulselbar, Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Mudji Waluyo, mengundang beberapa ormas termasuk Front Pembela Islam (FPI) untuk berkoordinasi dengan polisi mengamankan hari-hari menjelang natal dan tahun baru.
Ketua DPD FPI Sulsel, Habib Muchsin Al Habsyi, menuturkan bahwa setelah rapat berlangsung, seluruh peserta rapat diajak Kapolda mengunjungi beberapa tempat yang menjadi prioritas pengamanan dan FPI pun ikut dalam kunjungan tersebut untuk mengapresiasi ajakan Kapolda. Saat kunjungan ke gereja Katedral, Habib Muchsin bersama beberapa anggota FPI berdiri menunggu di luar bersama ormas lain.
“Kegiatan FPI-LPI makasar sesuai permintaan pihak Polda dan Polrestabes Makasar sebatas menjalin hubungan dari itikat baik aparat kepada (Ormas dan warga) untuk bersama-sama menjaga kondusifnya daerah dan kota makasar dari berbagai hal, utamanya dalam pesta-pesta miras, narkoba dan protitusi yang ditiap pergantian tahun tradisi tersebut sering terjadi serta dibiarkan begitu saja”, kata Habib Muchsin Al Habsyi, kepada redaksi fpi.or.id, Selasa, 12 shafar 14 H/ 25 Desember 2012.
Namun patut disayangkan, kehadiran beberapa orang anggota FPI bersama rombongan Kapolda di Gereja Katedral tersebut, oleh beberapa media dianggap sebagai bentuk pengamanan kegiatan natal, padahal tidak demikian. Menurut Habib Muchsin, bahwa media terlalu berlebihan dalam pemberitaan. Pada saat itu, ada beberapa ormas di lokasi tersebut namun yang diangkat dalam pemberitaan media hanya FPI. Sehingga Habib Muchsin menghimbau media jangan berlebihan dalam pemberitaan dan tidak membuat opini bahwa FPI mengamankan natal.
“Dalam perayaan natal dan tahun baru di Makasar, Kapolda Sulsel mengundang rapat, setelah rapat ternyata kunjungan ke Gereja Katedral dan saya ikut cuma diluar, bahwa fpi-sulsel tetap tidak melakukan penjagaan ataupun pengawalan gereja dalam bentuk apapun, hanya saja pihak pers terlalu mengekspos berita di media yang sama sekali terlalu dibesar-besarkan”, keluh Habib Muchsin.
Demikian pula terkait jumlah laskar FPI dan LPI yang disiagakan sebanyak 200 orang bukan untuk berpatroli menjaga gereja, namun mereka diterjunkan untuk membantu polisi dalam memberantas penyakit masyarakat khususnya terkait pesta miras besar-besaran yang terjadi menjelang natal dan tahun baru. Kegiatan koordinasi dengan kepolisian dalam memberantas maksiat ini bukan hanya dilakukan FPI saat menjelang tahun baru saja, namun sudah menjadi kegiatan rutin FPI setiap bulan bahkan setiap minggu.
“Insya ALLAH FPI-LPI Sulsel tetap mengedepankan Amar Ma'ruf- Nahi Munkar di Sulawesi  Selatan ini dan pihak aparat Polrestabes Makasar mendukung penuh upaya membabat habis kemaksyiatan yang terlaksana secara terang-terangan di tempat-tempat umum khususnya di wilayah pusat kota Makasar, dan terkait 200 laskar siaga itu untuk masalah kemaksiatan”, lanjut habib. [fpi/slm]


Sumber :

Jakarta - FPI: Benarkah Indonesia Negara Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jum’at 11 Robi’ul Akhir 1434 H/ 22 Februari 2013.
Secara singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. “Baik usulan Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler. Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH  Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen diwakili A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang, katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam pengesahan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya siding PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Yang berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD 1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, ini jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah. Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta. “Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai sebagai Negara Demokrasi. Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau kalimat  dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara Demokrasi. “Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi.”……. “Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah. Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dalam konteks ini, menurut Habib Rizieq, ada unsure kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap islam dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik ini. Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar. Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil  dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak  hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945 ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…” Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, ”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam, setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi Negara Demokrasi. [slm/fpi]


Sumber : Salam-Online.COM

 
Ormas Islam tolak Lady Gaga
Tribunnews.com – Kamis, 24 Mei 2012 18:01 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah ormas dan lembaga dakwah Islam se DKI Jakarta menolak konser Lady Gaga. Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi Pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (24/5/2012).
Dalam pernyatannya, mereka menekankan dua hal. Pertama, mendukung kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Kapolda DKI Jakarta untuk tidak memberi izin segala macam bentuk keramaian yang menampilkan pornografi, karena jelas bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku termasuk penyelenggaraan konser Lady Gaga.
Kedua, menghimbau ormas dan lembaga Islam serta seluruh komponen masyarakat Islam untuk bersatu padu menolak pornografi yang sengaja dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan negara untuk merusak moral dan akhlak warga bangsa khususnya generasi muda.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan oleh Agus Suradika, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta.
Ormas yang hadir antara lain Muslimat NU DKI, PW (Pengurus Wilayah) Wanita Islam, PW Aisyiah, Imami DKI Jakarta, Persis (Persatuan Islam) DKI Jakarta, Kaum Syarikat Islam, Wahdah Islamiyah, PW Matlaul Anwar, Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia.
Penulis: Eri Komar Sinaga  |  Editor: Johnson Simanjuntak  |  Sumber: Tribun Jakarta

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.