Islam dan Kristen kembali berhadap-hadapan. Kali ini dalam polemik Undang-undang Penodaan Agama yang sedang digodog Mahkamah Konstitusi.
Dengan berbagai alasan yang rasional dan faktual, umat Islam melalui MUI dan ormas-ormas Islam baik Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) maupun Nahdlatul Ulama, Departemen Agama dan Pemerintah sepakat bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu mutlak diperlukan.
Sementara itu, pihak Kristen baik Protestan dan Katolik sama-sama mendukung pencabutan undang-undang tersebut.
Katolik Alergi Undang-undang Penodaan Agama
Selaku Pihak Terkait, umat Katolik diwakili oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Dalam pandangan KWI yang disampaikan oleh Pastur Benny Susetyo dan Pastur Ignatius Ismartono dalam sidang MK di Jakarta tanggal 10 Februari 2010, KWI menyimpulkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 ini bertentangan dengan semangat kebebasan beragama dan kebebasan dalam menyuarakan keyakinan dan kebebasan berpendapat.
KWI sepakat dengan makna kebebasan beragama dalam persepsi HAM yang dikategorikan bersifat mutlak, dan oleh karenanya berada dalam freedom to be. Dengan kebebasan ini, keputusan beragama dan beribadat merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara tidak perlu mengatur mana ajaran agama yang harus atau tidak harus dilakukan oleh warga negara.
Pandangan KWI yang menolak campur tangan negara dalam wilayah agama itu sangat aneh, terutama bagi orang yang memahami sejarah Gereja Katolik. Karena sepanjang sejarah, dalam kekatolikan tidak ada kebebasan beragama yang mutlak. Vatikan bertindak otoriter menyikapi paham lain yang berbeda.
Dalam sejarah panjang Trinitas, pada tahun 395 M Kaisar Theodosius membentuk institusi gereja Kristen yang dikenal dengan Inkuisisi (Inquisition). Inkuisisi adalah institusi hukum yang dibentuk untuk memberantas kaum heretic yang dianggap menyerang doktrin Gereja. Inkuisisi memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Siapapun yang dianggap berbahaya ditangkap dan dijatuhi hukuman yang berat: divonis kafir, digantung, dibakar hidup-hidup, dibunuh pelan-pelan, giginya dicabut satu persatu, kulitnya dikelupas, dan seterusnya.
Contohnya, tahun 1142 gereja membakar hidup-hidup Abelard, seorang filosof dan tokoh Kristen di Prancis. Tahun 1415 di Spanyol dibakar 31.000 orang yang menentang gereja. Tahun 1416 gereja membakar John Hus dan Jerome sampai mati di Bohemia.
Tanggal 27 Oktober 1553, Michael Serveteus, dokter paru-paru ahli Injil dibakar pelan-pelan sehingga meronta-ronta dan berteriak-teriak kesakitan selama dua jam lalu mati tragis. Dokter ini dibakar karena menulis buku De Trinitas Erroribus (Kesalahan Trinitas). Di Nederland, ribuan orang dipotong lehernya pada tahun 1568.
Nama-nama tenar Martin Cellarius, Ludwig Hoetzer, Louis Socianus, George Blandrata beserta ribuan pengikutnya di Hongaria, Gregory Pauli, Francis David, dan masih banyak lagi menjadi korban kebiadaban Inkuisisi yang menegakkan doktrin Trinitas. Mereka adalah saksi mata bahwa tidak ada “kebebasan beragama yang mutlak” dalam Katolik.
Pada era 1990-an, sejumlah teolog Katolik dipecat Vatikan karena memiliki pandangan berbeda dengan Vatikan. Profesor Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma, dijatuhi sanksi karena menulis berjudul Toward a Christian Theology of Religious Pluralism.
Dalam bukunya, sang profesor dari Serikat Jesuit ini menyatakan bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullness of truth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan tanpa melalui Yesus. Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan ”tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik.” Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Logikanya, jika dalam Katolik ada pemegang otoritas keagamaan untuk menilai suatu faham itu menyimpang atau tidak, seharusnya KWI tidak merasa asing dengan umat Islam yang memiliki Majelis Ulama yang berhak menyatakan suatu tarekat menyimpang dari ajaran agama Islam. Begitupun agama-agama lain. Sehingga, keterlibatan otoritas keagamaan dalam UU Penodaan Agama sangat diperlukan. Maka, penolakan KWI terhadap undang-undang ini dengan dalih kebebasan beragama menjadi tidak relevan.
Terlepas dari kotroversi UU Penodaan Agama, ada fakta lain bahwa KWI secara kelembagaan juga hobi menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an sesuai seleranya dengan dalih “dialog agama” untuk menjembatani perbedaan kepercayaan Katolik dan Islam.
Dalam buku Beberapa Contoh Dialog Agama terbitan resmi Komisi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan (Komisi HAK-KWI), ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak diimaninya, dicomot-comot sedemikian rupa untuk menjelaskan doktrin-doktrin Katolik kepada umat Islam.
Apakah pihak KWI menolak Undang-undang Penodaan Agama agar bisa leluasa menyalurkan hobi menafsirkan kitab suci agama lain untuk memasarkan doktrin Katolik?
Protestan Alergi Undang-undang Penodaan Agama
Sementara pihak Protestan yang diwakili oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), mendukung pencabutan UU Penodaan Agama dengan bahasa yang agak halus. Dalam sikap resminya, PGI minta agar UU Penodaan Agama itu dikritisi dalam soal fungsi dan isinya karena multitafsir dan cenderung multi tafsir dan dikhawatirkan akan terjadi intervensi negara yang terlalu jauh terhadap kehidupan beragama.
Menyikapi berbagai perbedaan penafsiran terhadap ajaran suatu agama yang beragam, PGI berpendapat bahwa ajaran dan doktrin agama boleh berubah, berbeda bahkan bertentangan, karena hanya Kitab Suci saya yang tidak berubah.
PGI mencontohkan dinamika pertentangan doktrin yang melanda umat Kristen:
“Agama Kristen itu ditetapkan oleh mekanisme internal, apakah itu sidang di dalam gereja atau sinode atau konsili dan itulah mekanisme yang ditempuh oleh agama Kristen dalam menetapkan ajaran-ajarannya yang benar. Bagi agama Kristen setiap ajaran itu bisa diuji, ditafsirkan kembali berdasarkan Alkitab. Hanya Alkitab yang tidak boleh berubah tetapi pemahaman, penafsiran atau bagaimana kita menggali ajaran dari Alkitab itu, produk ajaran etika atau doktrin itu dapat berubah.
Alkitab adalah inti dari sumber ajaran agama Kristen. Ajaran boleh berubah, boleh berbeda tetapi kitab suci tetap, tidak boleh diubah dan itu dialami oleh umat Kristen sampai sekarang yang menghimpun berbagai aliran atau doktrin gereja yang terhimpun dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia.”
Apabila terjadi hal-hal yang dikategorikan atau yang dianggap penodaan atau penyimpangan, maka itu hendaknya disikapi atau diselesaikan dengan pembinaan internal tanpa kekerasan,” demikian sikap PGI yang dibacakan oleh Pendeta Einer Sitompul, Kamis (4/2/2010).
Pandangan PGI tersebut juga banyak kejanggalannya. pernyataan bahwa doktrin dan ajaran Kristen boleh berubah, yang tidak boleh berubah adalah Alkitab (Bibel). Pernyataan ini adalah kebohongan besar. Realitanya, dalam kekristenan, yang berubah-ubah bukan hanya doktrin gereja, tapi kitab suci pun mengalami pasang surut yang bisa berubah dan direvisi setiap saat.
Pernyataan PGI untuk melakukan penyelesaian dan pembinaan internal terhadap hal-hal yang dikategorikan penodaan agama juga patut dipertanyakan. Pasalnya, di antara penginjil dan pendeta yang sering melakukan penghujatan Islam adalah dari kalangan Protestan. Tapi PGI menerapkan jurus penyangkalan: “PGI tidak mengenal mereka karena mereka bukan anggota PGI.”
Tahun 2001 misalnya, ketika umat Islam dihebohkan dengan penghujatan agama yang dilakukan oleh Pendeta Suradi ben Abraham. Dengan entengnya, Pendeta Dr I.P. Lambe, Sekretaris Umum PGI berlepas tangan dengan jurus kilahnya, “mereka bukan anggota PGI.” (Majalah Gatra, 10 Maret 2001).
Padahal, soal penghinaan agama melalui penafsiran kitab suci agama lain secara salah tidak hanya dilakukan oleh pendeta non-PGI. Pengurus PGI sendiri tak asing dengan penodaan agama terhadap kitab suci umat Islam.
Contohnya, Pendeta Wienata Sairin MTh, salah seorang pengurus PGI, menulis buku berjudul “Tempat Dan Peran Yesus Di Hari Kiamat Menurut Ajaran Islam.”
Judul buku tersebut mengecoh umat Islam, sehingga di berbagai toko buku umum, buku tersebut dijual bebas bahkan dipajang di stand buku bacaan Islam. Dalam buku setebal 81 halaman terbitan Pustaka Sinar Harapan tersebut Pendeta PGI ini menuduh Al Quran sebagai kitab suci yang kontradiktif (hlm. 45-46).
Bagaimana mungkin PGI melakukan pembinaan internal terhadap pendeta yang melakukan penodaan agama, jika Pendeta PGI sendiri hobi menodai agama lain?
A. AHMAD HIZBULLAH MAG
ahmadhizbullah@gmail.com
Posting Komentar